melanjutkan posting yang sebelumnya yaitu''pencak silat'' GUA sih pernah ikut dan menjadi siswa di organisasi ini sayangnya cuma sampai tingkat 3 siswa yaitu tingkat jambone,sabuk warna merah muda dan disana gua udah latihan selama 1,5 tahun lebih dan sekarang gua gk ikut lagi, ni ada poto2 kenangan gua saat jadi pendekar



Sejarah Persaudaraan Setia Hati
Pada tahun 1903, bertempat di Kampung Tambak Gringsing, Surabaya, Ki
Ngabeni Surodiwirjo membentuk persaudaraan yang anggota keluarganya
disebut “Sedulur Tunggal Ketjer”, sedangkan permainan pencak silatnya
disebut “Djojo Gendilo”
Tahun 1912, Ki Ngabeni Surodiwirjo berhenti bekerja karrena merasa
kecewa disebabkan seringkali atasannya tidak menepati janji. Selain itu
suasana mulai tidak menyenangkan karena pemeintah Hindia Belanda menaruh
curiga; mengingat beliau pernah melempar seorang pelaut Belanda ke
sungai dan beliau telah membentuk perkumpulan pencak silat sebagai alat
pembela diri, ditambah pula beliau adalah seorang pemberani, Pemerintah
Hindia Belanda mulai kwatir, beliau akan mampu membentuk kekuatan bangsa
Indonesia dan menentang mereka. Setelah keluar dari pekerjaannya,
beliau pergi ke Tegal.
Tahun 1914, Ki Ngabehi Surodiwirjo kembali ke Surabaya dan bekerja di
Djawatan Kereta Api Kalimas, dan tahun 1915 pindah ke bengkel Kereta Api
Madiun. Disini beliau mengaktifkan lagi Persaudaraan yang telah
dibentuk di Surabaya, yaitu “Sedulur Tunggal Ketjer”, hanya pencak
silatnya sekarang disebut “Djojo Gendilo Tjipto Muljo”. Sedangkan pada
tahun 1917, nama – nama tersebut disesuaikan denngan keadaan zaman
diganti menjadi nama “Perssaudaan Setia Hati”
Ki Hadjar Hardjo Oetomo
Salah satu murud Ki Ngabehi Surodiwirjo yang militan dan cukup tangguh,
yaitu Ki Hadjar Hardjo Oetomo mempunyai pendapat perlunya suatu
organisasi untuk mengatur dan menertibkan personil maupun materi
pelajaran Setia Hati, untuk itu beliau meohon doa restu kepada Ki
Ngabehi Surodiwirjo. Ki Ngabehi Surodiwirjo memberi doa restu atas
maksud tersebut., karena menurut pendapat beliau hal – hal seperti itu
adalah tugas dan kewajiban anak muridnya, sedangkan tugas beliau
hanyalah “menurunkan ilmu SH”. Selain itu Ki Ngabehi Surodiwirjo
berpesan kepada Ki Hadjar Hardjo Oetomo agar jangan memakai nama SH
dahulu.
Setelah mendapat ijin dari Ki Ngabehi Surodiwirjo, Ki Hadjar Hardjo
Oetomo pada tahun 1922 mengembangkan ilmu SH dengan nama Pencak Silat
Club (P. S. C).
Karena Ki hadjar Hardjo Oetomo adalah orang SH, dan ilmu yang diajarkan
adalah ilmu SH, maka lama – kelamaan beliau merasa kurang sreg
mengembangkan ilmu SH dengan memakai nama lain, bukan nama SH. Kembali
beliau menghadap Ki Ngabehi Surodiwirjo menyampaikan uneg – unegnya
tersebut dan sekalian mohon untuk diperkenankan memakai nama SH dalam
perguruannya. Oleh Ki Ngabehi Surodiwirjo maksud beliau direstui, dengan
pesan jangan memakai nama SH saja, agar ada bedanya. Maka Pencak Silat
Club oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo diganti dengan nama “SETIA HATI MUDA”
(S. H. M).
Peranan Ki Hadjar Hardjo Oetomo Sebagai Perintis Kemerdekaan
Ki Hadjar Hardjo Oetomo mengembangkan ilmu SH di beberapa perguruan yang
ada pada waktu antara lain perguruan Taman Siswo, Perguruan Boedi
Oetomo dan lain – lain. Dalam mengajarkan ilmu SH beliau diantaranya
adalah menamakan suatu sikap hidup, ialah “kita tidak mau menindas orang
lain dan tidak mau ditindas oleh orang lain”. Walaupun pada waktu itu
setiap mengadakan latihan tidak bisa berjalan lancar, karena apabila ada
patroli Belanda lewat mereka segera bersembunyi; tetapi dengan dasar
sikap hidup tersebut murid – murid beliau akhirnya menjadi pendekar –
pendekar bangsa yang gagah berani dan menentang penjajah kolonialisme
Belanda. Dibandingkan keadaan latihan masa lalu yang berbeda dengan
keadaan latihan saat ini, seharusnya murid – murid SH lebih baik mutu
dan segalanya dari pada murid – murid SH yang lalu. Melihat sepak
terjang murid – murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo yang dipandang cukup
membahayakan, maka Belanda segera menangkap Ki Hadjar Hardjo Oetomo
bersama beberapa orang muridnya, dan selanjutnya dibuang ke Digul.
Pembuangan Ki Hadjar Hadjo Oetomo ke Digul berlangsung sampai dua kali,
karena tidak jera – jeranya beliau mengobarkan semangat perlawanan
menentang penjajah.
Selain membuang Ki Hadjar hardjo Oetomo ke Digul, Pemerintah Hindia
Belanda yang terkenal dengan caranya yang licik telah berusaha
memolitisir SH Muda dengan menjuluki SHM bukan SH Muda, melainkan SH
Merah; Merah disini maksudnya adalah Komunis. Dengan demikian pemerintah
Belanda berusaha menyudutkan SH dengan harapan SH ditakuti dan dibenci
oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Menanggapi sikap penjajah Belanda
yang memolitisir nama SH Muda dengan nama SH Merah, maka Ki Hadjar
Hardjo Oetomo segera merubah nama SH Muda menjadi “Persaudaan Setia Hati
Terate” hingga sampai sekarang ini.
Melihat jasa – jasa Ki Hadjar Hardjo Oetomo tersebut, maka pemerintah
Indonesia mengakui beliau sebagai “Pahlawan Perintis Kemerdekaan” , dan
memberikan uang pensiun setiap bulan sebesar Rp. 50.000,00 yang
diterimakan kepada isteri beliau semasa masih hidup.
Setelah meninggal dunia, beliau dimakamkan di makam “Pilangbango”, yang
terlatak di sebelah Timur Kotamadya Madiun, dari Terminal Madiun menuju
ke arah Timur. Beliau mempunyai 2 (dua) orang putra, yaitu seorang putri
yang diperisteri oleh bapak Gunawan, dan Seorang putra yang bernama
bapak “Harsono” sekarang berkediaman di jalan Pemuda no. 17 Surabaya.
Ibu Hardjo Oetomo meninggal pada bulan September 1986 di tempat
kediamannya, di desa Pilangbango Madiun.
Rumah beliau, oleh Bapak Harsono dihibahkan kepada Persaudaraan Setia
Hati Terate pada akhir tahun 1987 dengan harga Rp. 12,5 juta. Rencana
Pengurus Pusat, bekas rumah kediaman pendiri Persaudaraan SH Terate
tersebut akan dipugar menjadi “Museum SH Terate” agar generasi penerus
bisa menyaksikan peninggalan pendahulu – pendahulu kita sejak berdiri
sampai dengan perkembangannya saat ini.
Konflik PSHT dengan WINONGO
SH Terate adalah perguruan silat legendaris yang berperan menyebarkan
pencak silat ke berbagai daerah (bahkan manca negara). Di pusatnya,
Madiun, terdapat ribuan pendekar SH terate yang tersebar sampai
pelosok-pelosok kampung. Bagi pemuda-pemuda di daerah Madiun, menjadi
anggota SH terate adalah tradisi yang mereka laksanakan secara turun
temurun. Bahkan banyak keluarga yang dari Kakek buyut sampe cicit, semua
adalah anggota PS SH Terate. Hal ini membuat SH Terate sebagai
organisasi, cukup disegani di kawasan Madiun karena memiliki massa yang
sangat besar.
Sayang, di Madiun sering terjadi perkelahian massal antara anggota SH
Terate dan anggota SH Tunas Muda (Winongo). Sebenarnya pendiri kedua
perguruan silat tersebut berasal dari perguruan yang sama. Menurut
hikayat, asal muasal pencak silat di Madiun adalah dari seorang pendekar
bernama Suro (Mbah Suro).
Perguruan silat ini kemudian berkembang cukup pesat. Mbah Suro memiliki
banyak sekali murid. Namun diantara sekian ratus muridnya, ada dua yang
paling menonjol. Yang satu kemudian mendirikan perguruan silat sendiri
di daerah Winongo Madiun, dan kemudian di kemudian hari menjelma
menjadi SH Tunas Muda. Sementara yang satunya meneruskan perguruan
silat mbah Suro dan kemudian menjelma menjadi SH Terate.
Awalnya, kedua perguruan tersebut saling berdampingan dengan damai satu
sama lain. SH Winongo memiliki pengaruh di daerah madiun kota,
sementara SH Terate mengakar di daerah madiun pinggir/pedesaan. Benih
perpecahan dimulai ketika antara tahun 1945-1965 an, banyak pendekar SH
Winongo yang berafiliasi dengan PKI. SH Terate yang menganggap ilmu SH
(Setia Hati) yang diturunkan oleh mbah Suro merupakan ilmu yang
berbasis ajaran Islam, merasa SH Winongo mulai keluar dari jalur
tersebut.
Perselisihan semakin menjadi-jadi antara tahun 1963-1967, dimana banyak
pendekar dari kedua perguruan yang terlibat bentrok fisik dalam
peristiwa-peristiwa politik. Meski banyak anggotanya yang berafiliasi
kiri, namun secara organisasi SH Winongo tidak terlibat dalam aktivitas
kekirian tersebut. Hal inilah yang kemudian menyelamatkan perguruan
silat ini dari pembubaran oleh pemerintah.
Setelah masa pembersihan anggota PKI yang berlangsung antara tahun
1967-1971 di daerah Madiun, SH Winongo sedikit demi sedikit mulai
kehilangan pamornya. Puncaknya, pada era 1980-an bisa dikatakan
perguruan silat ini dalam keadaan mati suri. Konon, banyak pendekar SH
Terate yang berperan sebagai eksekutor para anggota PKI (termasuk
beberapa pendekar SH Winongo yang terlibat PKI) di kawasan Madiun. Hal
inilah yang kemungkinan memicu dendam pendekar SH Winongo yang non-PKI
tapi merasa memiliki solidaritas pada kawan-kawannya yang dieksekusi
tersebut.
Entah kebetulan atau tidak, seiring dengan munculnya PDI sebagai
kekuatan politik yang cukup kuat pada era 1990-an, pamor SH Winongo
sedikit demi sedikit mulai naik kembali. Banyak pemuda dari kawasan
perkotaan Madiun yang masuk menjadi anggota SH Winongo. Madiun kota
sendiri merupakan basis PDI yang cukup kuat. Sementara Madiun kabupaten
merupakan basis NU dan Muhammadiyah. Banyak yang mengatakan bahwa
situasi tersebut mirip dengan situasi di zaman ‘60-an, dimana PKI
berkuasa di Madiun kota dan NU berkuasa di Madiun Kabupaten.
Seiring dengan perkembangan tersebut, mulai sering terjadi perkelahian
antar pendekar di berbagai pelosok Madiun. Perkelahian yang juga
melibatkan senjata tajam tersebut tak jarang berakhir dengan kematian
salah satu pihak. Pada waktu itu, Madiun bagaikan warzone para pendekar
silat (termasuk dengan senjata tajam dan senjata lainnya). Di berbagai
sudut kota dan kampung terdapat grafiti yang menunjukkan identitas
kelompok pendekar yang menguasai kawasan tersebut. Pendekar SH Terate
menggunakan istilah SHT (Setia Hati Terate) atau TRD (Terate Raja Duel)
untuk menandai basisnya. Sementara SH Winongo menggunakan istilah STK,
yang kemudian diplesetkan menjadi “Sisa Tentara Komunis”, untuk
menandai kawasan mereka.
Pada kurun waktu 1990-2000, STK mengalami perkembangan jumlah anggota
yang sangat pesat. Desa Winongo sebagai markas besar mereka, pada
awalnya masih mudah diserang oleh pendekar SHT dari wilayah tetangga.
Namun karena kekuatan mereka yang semakin besar membuat Winongo menjadi
untouchable area. Hampir seluruh pemuda dan lelaki di desa ini menjadi
anggota STK yang militan, sehingga penyerbuan SHT ke wilayah ini
menjadi semakin sulit dilakukan.
STK menggunakan taktik populis dalam merekrut anggota baru. Mereka masuk
ke SMP dan SMU di kota Madiun dan menawarkan status pendekar secara
instan kepada pemuda-pemuda yang mau bergabung. Sementara untuk meraih
status pendekar di SHT, persyaratannya cukup berat dan memakan waktu
cukup lama. Tawaran menjadi pendekar instan tersebut tentu saja mendapat
sambutan yang besar dari para pemuda yang belum mengetahui esensi
sebenarnya sebuah panggilan “pendekar”. Di Madiun, menjadi pendekar
adalah sebuah kehormatan yang diimpi-impikan para pemuda. Predikat
pendekar menjadi sangat elit karena harus dicapai dengan susah payah.
Seorang Pendekar dipastikan memiliki kemampuan silat dan fisik yang
prima, serta pemahaman agama yang dalam.
Akibat taktik populis yang dilakukan STK, kode etik pertarungan antar
pendekar yang selama ini terjaga, sedikit demi sedikit mulai pudar.
Anak-anak muda yang naif (pendekar instan) mulai menggunakan cara-cara
yang kurang etis dalam berkelahi. Misalnya mereka mengeroyok lawan,
menculik lawan di rumah, tawuran (lempar-lemparan batu), menyerang dari
belakang, dan cara-cara yang tidak terhormat lainnya. Awalnya
pendekar-pendekar SHT yang memegang teguh kode etik pertarungan pencak
silat, masih berupaya sabar. Namun, akhirnya mereka kehilangan kesabaran
setelah korban di pihak mereka mulai berjatuhan.
Tercatat, terjadi beberapa kali pertarungan yang memakan korban jiwa
akibat tindakan yang tidak sportif. Pernah terjadi kasus dimana dua
orang pendekar yang sedang berboncengan sepeda ontel, di tebas dari
belakang oleh lawan bersepeda motor dengan menggunakan clurit. Kemudian
ada juga kasus seorang pendekar yang sedang menggarap sawah, ditebas
dari belakang oleh lawannya dengan menggunakan pacul.
Kejadian-kejadian tersebut merupakan gambaran betapa etika pertarungan
sportif satu lawan satu yang selama ini dipegang erat oleh para
pendekar, mulai pudar.
Cikal bakal dua perguruan silat terbesar di Madiun, SH Terate dan SH
Winongo, adalah sebuah perguruan pencak silat puritan bernama SH Putih.
SH Putih didirikan oleh seorang pendekar silat bernama Mbah Suro pada
tahun 1903. Mbah Suro adalah seorang pengembara, dia telah melanglang
buana sampai ke Tiongkok dan India untuk mempelajari berbagai ilmu bela
diri.
Setelah merasa cukup ilmu, Mbah Suro pulang ke tanah kelahirannya, dan
mendirikan sebuah perguruan pencak silat tanpa nama. Berdasarkan ilmu
yang didapatkannya selama mengembara, ia mengembangkan jurus-jurus silat
baru yang kemudian membawa pembaharuan dalam ilmu beladiri asli
nusantara ini.
Antara SH Winongo dengan SH Terate menganut prosedur yang berbeda dalam
penetapan seorang murid menjadi “WARGA”. Di SH Winongo, seorang murid
yang baru masuk, harus segera disahkan sebagai “WARGA” agar ikatan
emosional dan fisik yang bersangkutan dengan perguruan tidak terlepas
lagi. Sementara di SH Terate, untuk menjadi “WARGA” seorang murid harus
menjalani proses yang panjang dan sangat keras. Seorang “WARGA” dalam
filosofi SH Terate haruslah pendekar yang benar-benar telah memahami
esensi dari ilmu pencak silat itu sendiri, terutama kegunaannya bagi
masyarakat. Sehingga, sedikit sekali dalam satu angkatan, seorang murid
SH Terate akhirnya dapat mencapai level menjadi “WARGA”
Jiwa patriotisme yang tinggi ditunjukkan oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo,
salah seorang Saudara Tertua Setia Hati, dengan bantuan
teman-temannya dari Pilang Bango, Madiun dengan berani menghadang
kereta api yang lewat membawa tentara Belanda atau mengangkut
perbekalan militer. Penghadangan, pelemparan, dan perusakkan yang
terjadi berulang-ulang sampai akhirnya ia ditangkap PID Belanda dan
mendapat hukuman kurungan di penjara Cipinang dan dipindahkan ke
Padang, Sumatera Barat. Setelah dibebaskan, Ki Hadjar Hardjo Oetomo
yang telah mendirikan Setia Hati Pencak Sport Club yang kemudian
mengaktifkan kembali perguruannya sampai akhirnya berkembang dengan
nama Persaudaraan Setia Hati Terate.